Senin, 05 Desember 2016

makalah kerukunan antar umat agama di indonesia

TINJAUAN TEOLOGIS ETIS KRISTEN 
TENTANG KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Makalah Pendidikan Agama Kristen

  



Disusun Oleh:
Kelompok 5

Fernaldo Frans Pontoan (16-021)
Filipus Riaman Napitu Saragih (16-032)
Melsy Yuniar Silalahi   (16-042)
Michael Christian Siahaan (16-076)
Marnala Jessica Malona (16-105)
Lasria Arga Nainggolan (16-112)



Semester 1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016





KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, oleh karena berkat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambahkan pengetahuan dan pengalaman agar lebih memahami bagaimana hidup rukun dengan sesama umat beragama.

Adapun makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, maka dari itu meminta maaf dan kami terbuka terhadap saran-saran dan masukan yang ditujukan kepada kami agar kedepannya kami bisa memberikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.


Medan, November 2016

                                                                                                    
Kelompok 5 

















BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara demokrasi yang pada setiap warga negaranya memiliki hak yang sama untuk bebas memilih atau memeluk keyakinan masing-masing. Adapun agama-agama atau keyakinan yang dipercaya warga negara Indonesia diantaranya agama Kristen, Katholik, Islam, Buddha, dan Hindu. Selain itu ada juga satu agama atau keyakinan yang sekarang telah diakui di Indonesia yaitu agama Khonghucu.
Dengan adanya keberagaman keyakinan itu, tentulah pasti memiliki kendala-kendala. Salah satu kendala yang ada yaitu kendala kerukunan antar umat beragama. Banyak antar umat beragama saling menjatuhkan satu sama lain. Kasus ambon, perusakan rumat ibadah, demonstrasi anarkis, bom di rumah ibadah dan yang lainnyayang menyisakan masalah ibarat api dalam sekam yang sewaktu waktu siap membara dan memanaskan suasana di sekelilingmya. Hal ini mengindentifikasi bahwa pemahaman tentang kerukukan umat beragama perlu di tinjau ulang lagi, karenya banyaknya kasus kasus yang menjadikan adanya saling bermusuhan, saling merasa ketidak adilan.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai agama. Kemajemukan yang di tandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing masing dan berpotensi konflik. Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multicultural. Multikulutural Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Dengan perbedaan agama tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bias mengakibatkan konflik antar umat beragama.
Oleh karena itu untuk mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari ledakan konflik” antar umat beragama yang terjadi tiba tiba”

Rumusan Masalah :
Apa itu kerukunan antar umat beragama?
Bagaimana kondisi kerukunan antar umat beragama di Indonesia?
Bagaimana tinjauan teologis etis Kristen tentang kerukunan antar umat beragama di Indonesia?



BAB II
KLIPING

Gelar Perkara Akan Tentukan Kelanjutan Kasus Ahok
Jumat, 11 November 2016 | 20:15 WIB
Penulis : Lutfy Mairizal Putra
JAKARTA, KOMPAS.com
- Gelar perkara terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan dilakukan pada Selasa (15/11/2016) di ruang rapat utama (rupatama) Mabes Polri.
Gelar perkara akan dilakukan secara terbuka terbatas, mengingat kapasitas ruangan.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengatakan, gelar perkara akan menentukan kelanjutan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
"Kalau tindak pidana akan ditindaklanjuti oleh penyidik," kata Ari di kantor Bareskrim di kompleks Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Jumat (11/11/2016).
Dalam gelar perkara, pihaknya akan mengundang para pelapor dan terlaporAri menuturkan, gelar perkara akan dilaksanakan selama satu hari. Selesai gelar perkara, kata dia, penyidik akan melakukan analisis.
"Selesai gelar perkara, lalu kami analisis secepatnya.Nanti kalau sehari selesai, Rabu besoknya bisa diketahui dan disampaikan," ucap Ari.
Ari menyebutkan, gelar perkara akan menghadirkan 34 saksi ahli dari kedua belah pihak. Saat ini, lanjut Ari, pihaknya sedang menyusun hasil wawancara dari berbagai pihak.
Gelar perkara terbuka untuk kasus Ahok diungkap Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian seusai bertemu Presiden Joko Widodo.Jokowi pun mengakui memerintahkan Polri untuk melakukan gelar perkara terbuka.
Kepolisian lalu menelaah keabsahan gelar perkara terbuka. Hingga akhirnya, Komjen Ari Dono mengungkap bahwa gelar perkara akan dilakukan terbuka terbatas.





Merasa Dikambinghitamkan Terkait Demo 4 November, HMI Mengadu kepada Fadli Zon
Jumat, 11 November 2016 | 21:29 WIB
Penulis : Nabilla Tashandra

JAKARTA, KOMPAS.com
- Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menemui Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon untuk mengadukan sejumlah hal terkait demo 4 November.
Salah satu yang mereka sampaikan adalah mengenai penangkapan lima anggota HMI yang dianggap melakukan pelanggaran hukum.
"Penangkapan terhadap kader HMI di Sekretariat HMI merupakan bukti nyata bahwa pemerintah akan menjadikan HMI sebagai kambing hitam dan menjadi bagian dari upaya mencari aktor politik seperti yang diimajinasikan Presiden Joko Widodo," kata Ketua Umum Pengurus Besar HMI Mulyadi P Tamsir, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (11/11/2016).
Mulyadi mengatakan, HMI menganggap penangkapan itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa dan menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi antikritik dan antidemokrasi.
HMI berharap agar aparat bekerja secara objektif dalam menegakkan hukum terkait kasus dugaan penistaan agama.
"Karena itu kami meminta DPR sebagai wakil rakyat untuk mendukung apa yang menjadi tuntutan rakyat dan ummat islam tentang penistaan agama," kata dia.
Sementara itu, Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI), MS Kaban mengatakan, apa yang dituntut berbagai organisasi dan komponen masyarakat pada aksi 4 November fokus pada persoalan penistaan agama.
Oleh karena itu, seharusnya tak dialihkan pada persoalan lain.
"Kok sekarang jadi fokus pada aktivis-aktivis yang melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi," kata Kaban.
Polda Metro Jaya menangkap lima anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terkait aksi kericuhan pada unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (4/11/2016).
Polisi telah menetapkan mereka sebagai tersangka.


Agama dan Budaya di Mata Menteri Lukman
Jumat, 11 November 2016 | 21:21 WIB
Penulis : Rakhmat Nur Hakim
JAKARTA, KOMPAS.com
- Pidato yang disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, menyegarkan suasana Forum Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, Kamis (10/11/2016) malam.
Lukman, yang malam itu berbusana santai.Ia mengenakan baju koko berwarna hitam dan sarung.
Pembawaannya pun terlihat sangat santai malam itu.Pidato yang disampaikannya, beberapa kali mengundang tawa.Menyegarkan.
Ia berbicara soal agama dan budaya.
Pada awal pidatonya, Lukman mengibaratkan agama dan budaya bak kopi tubruk.
Menurut dia, menikmati kopi tanpa gula akan terasa pahit. Sebaliknya, jika gula saja tanpa kopi akan terasa sangat manis. Keduanya, kata Lukman, seharusnya tak terpisahkan.
Lukman menilai, masuknya agama dalam praktik hukum di Indonesia merupakan refleksi religiusitas bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, seorang Presiden tak hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa melalu sumpah jabatan yang diucapkannya.
Lukman mengatakan, perpaduan budaya dan agama terjadi sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Hal itu terlihat dari budaya lokal yang memiliki kesamaan dengan ajaran agama.
Salah satunya adalah prinsip molimo yang dianut masyarakat Jawa, yakni lima pantangan yang wajib dihindari yaitu madat (menyandu obat), madon (main perempuan), minum (mabuk), main (judi), dan maling (mencuri).
Selain itu, kulturtepo seliro di Indonesia dinilai Lukman membuat wajah religiusitas di Indonesia menjadi ramah dan toleran.
Namun, lanjut Lukman, saat ini wajah ramah tersebut seakan mulai pudar.
Akan tetapi, politisi Partai Persatuan Pembangunan ini menilai, wajah Indonesia yang toleran menghadapi tantangan zaman seiring pesatnya teknologi.
Orang mempelajari agama tak lagi dari guru mengaji, tetapi bisa melalui dunia maya tanpa mengetahui kebenaran dan kesahihan sumber.
"Sekarang kita kenal dengan majelis Al Facebookiyah dan Kanjeng Google," kata Lukman.
Minimnya pertemuan di dunia nyata, lanjut dia, menyebabkan miskomunikasi yag mengarah pada konflik.
Perdebatan di dunia maya seakan tak berujung.
"Untung masih ada Mukidi yang menurunkan tensi," kata Lukman, yang disambut tawa para hadirin.
Di akhir pidatonya, Lukman berharap relasi agama dan budaya yang telah tertata apik di Indonesia kembali menuntun masyarakat Indonesia menapaki peradaban baru, di mana kesalehan individu bertransformasi menjadi kesalehan sosial.
Ia juga berharap para pemuka agama peka terhadap zaman dalam mentransformasikan ajarannya kepada para pemuda.
Nilai-nilai agama yang diajarkan, kata Lukman, harus mengarah pada toleransi, integritas, dan inovasi.
"Jika anak muda toleran dan sibuk bekerja, maka tak akan sempat mengkafirkan orang lain," kata Lukman, menutup pidato kebudayannya itu.


Jokowi: Kita Ingin Mayoritas Melindungi Minoritas, Minoritas Menghormati Mayoritas
Jumat, 11 November 2016 | 15:07 WIB
Penulis : Fabian Januarius Kuwado
JAKARTA, KOMPAS.com
- Presiden Joko Widodo menyampaikan harapannya soal keberagaman di Indonesia.
Jokowi mengatakan, ia tak ingin ada konflik antara kelompok mayoritas dan minoritas di Tanah Air.
"Di negara kita, kita ingin yang mayoritas melindungi yang minoritas.Tapi juga minoritas harus menghormati yang mayoritas," ujar Jokowi, di Markas Korps Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (11/11/2016).
"Saling melindungi, saling menghargai, saling menghormati.Inilah yang kita harapkan," lanjut Jokowi.
Dengan demikian, Jokowi yakin akan tercipta kesejukan dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Negara menjadi aman tertib dan damai.
Oleh sebab itu, Jokowi juga berpesan kepada Marinir, dengan jumlah pasukan sebanyak 31 ribu orang, untuk berkontribusi menjaga perdamaian dalam negeri.
"Saya sampaikan, prajurit Marinir harus selalu menjadi perekat kemajemukan, perekat kebhinnekaan dan pantang menyerah menjaga keutuhan NKRI," ujar Jokowi.


Ahok Bisa Dianggap Tidak Menistakan Agama, apabila Dapat Membuktikannya
Jumat, 11 November 2016 | 22:23 WIB
JAKARTA. KOMPAS.com
- Dosen Ilmu Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Andika Dutha Bachari, menilai pernyataan Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait Surat Al Maidah Ayat 51 bisa dianggap tidak menistakan agama.
Namun, Andika menilai bahwa Ahok bisa dianggap tak menistakan agama apabila bisa membuktikan pernyataan tersebut.
"Kalau Ahok merujuk pada, 'Ada orang yang membohongi masyarakat pakai Surat Al Maidah', ya Ahok harus bisa bertanggung jawab (membuktikan)," ujar Andika dalam sebuah diskusi di Kampus Al Azhar, Jakarta Selatan, Jumat (11/11/2016).
Menurut dia, Ahok mengeluarkan pernyataan tersebut tanpa didasari data dan fakta. Karena itu, pernyataan Ahok menjadi sangat subyektif jika diucapkan justru seperti menghakimi pihak lain.
"Kalau Ahok bilang, dia punya Informasi tentang ini, bahwa ada orang, sepanjang dia bisa mempertanggungjawabkan, oke.Artinya kualitas informasinya bisa diterima," ucap Andika.
"Ini kan yang jadi masalah substansi informasinya, ada kategori negatif dan secara literal apa yang disampaikan derajat kebenarannya belum dapat diterima.Apa betul ada orang dibohongi dengan pakai Al Maidah Ayat 51?" kata dia.
Ahok menyampaikan pernyataan tersebut saat kunjungan kerja ke Pulau Seribu akhir September lalu.
Pernyataan ini menimbulkan protes dari umat Islam.Bahkan, protes ini berujung pada demonstrasi besar yang terjadi pada 4 November 2016 silam.



RANGKUMAN
Berdasarkan berita-berita yang terdapat dalam kliping tersebut, dapat disimpuklan bahwa masih ada orang-orang atau pun lembaga-lembaga yang masih mementingkan kerukunan antarumat beragama, misalnya dengan mengadakan bakti social, pejabat-pejabat seperti menteri dan presiden yang menginginkan toleransi, integritas, inovasi,Saling melindungi, saling menghargai, dan saling menghormati adalah harapan unsur-unsur yang dibutuhkan agar dapat tercapai kedamaian dan kerukunan di tengah-tengah adanya perbedaan.
Perbedaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat tidak terlepas dari berbagai konflik,terutama masyarakat Indonesia sangatlah majemuk, baik dalam hal suku, ras, agama dan golongan-golongan tertentu yang masing-masing memiliki latar belakang social-budaya tertentu. Kemajemukan tersebutlah, terutama dalam hal agama yang menjadi tantangan terbesar bagi kesatuan bangsa dan Negara.
Sikap agama yang fundamentalis, sikap picik, sikap fanatic yang menjadikan sebagian orang keliru untuk tidak menerima perbedaan agama, menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, sehingga dengan terang-terangan bahkan secara kasar merendahkan agama lain.
Kurangnya pemahaman penganut agama akan agamanya sendiri dan agama orang lain, kecurigaan terhadap umat beragama, serta pandangan radikal merupakan pemicu timbulnya konflik antar umat beragama. Apalagi konflik diperparah lagi dengan adanya kesenjangan status social, ekonomi dan pendidikan penganut agama yang satu dengan yang lainnya, khusunya untuk kepentingan tertentu yang memanfaatkan konflik antar umat beragama demi tujuan politik, ekonomi, perluasan kekuasaann dan sebagainya.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai.Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Untuk itu, kerukunan hidup antar umat beragama harus kita jaga agar tidak terjadi konflik-konflik antar umat beragama terutama di masyarakat Indonesia yang multikultural dalam hal agama, kita harus bisa hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar agama bisa menjadi pemersatu bangsa Indonesia.






BAB III
TINJAUAN TEOLOGIS ETIS KRISTEN TENTANG 
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Apa Itu Kerukunan Antar Umat Beragama?
Defenisi Kerukunan
Kerukunan merupakan jalan hidup setiap manusia yang memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan dan saling menjaga satu sama lain. Maka dari itu setiap tanggal 3 Januari dinyatakan sebagai hari kerukunan nasional.

Kata kerukunan berasal dari bahasa arab ruknun (rukun) kata jamaknya adalah arkan yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya).

Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah:
Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya agama.
Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat.  Merukunkan  berarti:  mendamaikanenjadikan bersatu hati. Kerukunan berarti : perihal hidup rukun; rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama.
Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati yang penuh ke ikhlasan. Kerukunan  merupakan  kondisi  dan  proses  tercipta  dan terpeliharannya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsure / sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.

Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan  umat  beragama  dalam  kehidupan  sosial kemasyarakatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk menerima perbedaan.
Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
 Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan masyarakatnya untuk hidup rukun. Sebab kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras dan antar Golongan bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan.

Kerukunan dapat diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.
Agama secara umum merupakan suatu kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini dan dipercaya. Agama diakui sebagai seperangkat aturan yang mengatur keberadaan manusia di dunia.

Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi Kerukunan yaitu:
Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara aliran-aliran / paham-paham /mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.
Kerukunan di antara umat / komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
Kerukunan antar umat / komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat  pemerintah  dengan  saling  memahami  dan menghargai  tugas  masing-masing  dalam  rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama.
Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.

Kerukunan antar umat beragama dapat dikatakan sebagai suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.

Kerukunan  antar  agama  yang  dimaksudkan  ialah mengupayakan agar terciptanya suatu keadaan yang tidak ada pertentangan intern dalam masing-masing umat beragama, antar golongan-golongan agama yang berbeda satu sama lain, antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya, antara umat-umat beragama dengan pemerintah.

Wujud dari Kerukunan antar umat beragama

Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
Saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab mmbangun bangsa dan Negara.
Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang lain.



Kondisi kerukunan antar umat beragama di Indonesia
Ditengah – tengah kemajuan jaman, selain menghadapi berbagai tantangan hidup, krisis secara ekonomi, dan sebagainya. Indonesia pun sedang menghadapi tantangan tersendiri diantara masyarakatnya sendiri, hal ini seringkali diakibatkan karena adanya sifat fanatisme primordial yg muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
Apa itu fanatisme primordial?
Menurut Wikipedia, Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Filsuf ⦁ George Santayanamendefinisikan fanatisme sebagai, "melipatgandakan usaha Anda ketika Anda lupa tujuan Anda"; dan menurut ⦁ Winston Churchill, "Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya". Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan.
Menurut Wikipedia, Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Primordil atau Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Dengan Kata lain, Fanatisme Primordial adalah suatu sifat ketertarikan yang berlebihan atas suatu hal (berupa budaya, suku, agama, ras, dsb.) yang diterima sejak lahir, yang disertai dengan rasa untuk mempertahankan secara berlebihan, serta cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain.
Seperti ucapan Ferdinand Tonnies dalam bukunya Gemeinschaft und Gesselschaft (1887), mengenai terjadinya pergeseran dimasyarakat dari sifat paguyuban kesifat patembayan, dari komunitas ke sosietas, dan dari gotong royong ke individualisme yang terjadi dalam masyarakat yang memasuki era industry, sekarang, dalam era globalisasi, semakin menjadi jadi.
Kehidupan modern dan globalisasi urban yang bersifat heterogen dan pluralistis sering tidak biasa dihadapi oleh mereka yang kehilangan pegangan sehingga mereka mencari rem-pengaman berupa ikatan-ikatan primordial seperti kesukuan, agama, ras, dan golongan, dimana mereka merasa aman dan terlindungi dari ancaman kehidupan kota yang keras, tetapi fanatisme primordial yang sebenarnya ingin dijadikan sarana berteduh itu bias menjadi konflik besar bila terjadi perbenturan kepentingan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Di kota-kota di Indonesia yang makin bergerak menuju kota-kota besar sekarang, kecenderungan primordialisme SARA ini makin meningkat.
Grehory Baum (1975).
Kasus fanatisme primordial yang paling sensitive adalah Agama. Sejarah dunia sudah mencatat bahwa agama , sekalipun disatu segi mendatangkan efek pengobatan (therapeutic) dan kesatuan antara manusia, disegi lain mendatangkan keterasingan (alienasi) yang menceraikan satu manusia dari lainnya. Unsur agama ini juga yang paling mudah dijadikan sasaran untuk dipicu.
Bila umat Kristen yang jumlahnya merupakan minoritas di Indonesia (sekitar 10%) merasakan dirinya yang paling sering terkena letupan SARA ini dapatlah dimaklumi karena memang kekristenan mempunyai banyak pengalaman-pengalaman traumatis, seperti contoh yang dapat kita lihat dari isi surat yang dikirimkan oleh Forum Komunikasi Kristiani Surabaya – Jawa Timur (FKKS-Jatim) berikut:
“Sampai dengan peristiwa Natal Kelabu 26 Desember 1996 di Tsikmalaya-Jawa Barat telah tercatat 315 (tiga ratus lima belas) Gereja yang dirusak/dibakar/ditutup/diresolusi di seluruh Indonesia dan sedikitnya 9 (Sembilan) orang meninggal.”

Meskipun demikian, perlu kita sadari bahwa kita tidak boleh melakukan generelisasi terlalu jauh. Di Indonesia jumlah umat Kristen yang hanya sekitaran 10% saja itu, sekitar 20-an juta orang, maka bila dirata-ratakan setiap gedung gereja mempunyai jemaat 500 orang (banyak yang dibawah angka ini), maka jumlah gedung gereja di Indonesia adalah sekitar 40.000 (empat puluh ribu) jumlahnya. Jadi penghambatan yang dialami hanya menyangkut 0.8% dari seluruh gedung gereja yang ada.
Melihat fakta ini, kita jangan terlalu jauh menyimpulkan hal-hal yang kasuistik itu sebagai masalah Anti-Kristen secara general. Kita perlu menundukkan pada proporsi sebenarnya dengan melokalisasikan masalahnya yaitu ditujukan kepada ‘kelompok fanatik dalam Islam’ yang nota bene merupakan kelompok minoritas dalam Islam yang oleh kelompok mayoritas dalam Islam sendiri tidak selalu didukung. Sikap terlalu meng-generalisasi yang demikian bias menjurus pada generalisasi-balik dimana kekristenan bias mengalami antipasti dari kelompok mayoritas dalam Islam. Justru umat Kristen seharusnnya bergandengan tangan dengan kelompok mayoritas dalam Islam, dalam kerangka kebangsaan Indonesia untuk mengatasi ‘kelompok fanatik dalam Islam’ yang minoritas itu.
Fanatisme Primordialisme agama tidak merupakan monopoli agamatertentu, tetapi ternyata bias dilakukan oleh umat fanatik dalam semua agama. Dimana mereka menjadi mayoritas di suatu daerah, maka masuknya agama lain daerah itu dapat memanaskan hubungan paguyuban homogeny yang sudah terjadi. Kenyataan ini memang merupakan hambatan serius penegakkan Pancasila dan Bhinekka Tunggal Eka di Indonesia.
Dalam huru-hara di Timor Timur disamping unsur lainnya seperti kesenjangan sosial ekonomi dan kesukuan, unsur fanatisme agama ikut terlibat dimana banyak gereja Protestan dan mesjid dibakar oleh umat Katolik
Kasus Surabaya, Situbondo, dan Tasikmalaya, justru dilakukan oleh orang Islam fanatik, dan mengorbankan banyak gereja protestan maupun Katolik.
Kerusuhan di Sanggau Ledo melibatkan orang yang banyak di antaranya beragama Kristen Protestan dan menimpa pendatang yang kebanyakan beragama Islam.
Sekalipun demikian, kasus-kasus tersebut tidak bisa dibilang sebagai kasus murni disebabkan agama, sebab ada beberapa faktor lain yang ikut menjadi penyebab.
Kalau banyak orang Katolik membakar mesjid dan gereja Protestan di Timor Timur kita tidak dapat mengatakan bahwa orang Katolik anti Islam dan Protestan, demikian juga di Surabaya, Situbondo dan Tasikmalaya, ada orang Islam membakar gereja Katolik dan Protestan tentunya tidak arif kalau kita menuduh Islam seluruhnya sebagai membakar gereja. Sebaliknya juga, meskipun banyak orang Kristen membakar rumah orang islam di Sanggau Ledo yang mungkin mengenai mesjid, tentu kita tidak tepat kalau mengatakan bahwa umat Kristen mengusir umat Islam. Soalnya lagi, di sebagian besar tanah air dan penduduk Indonesia, kerukunan itu masih ada, tanpa menimbulkan masalah.
Kerukunan agama dan keyakinan merupakan identitas diri lain dari kemajemukan alamiah bangsa Indonesia. Para perumus dasar Negara Pancasila terdahulu telah bersepakat untuk menempatkan dasar spiritualitas Nusantara ini dalam urutan pertama dari kelima sila Pancasila, Ketuhana Yang Maha Esa. Nilai yang terkandung dalam sila ini adalah kewajiban bangsa Indonesia untuk beragama secara kebudayaan, yakni suatu sikap dan perilaku beragama yang menjunjung prinsip-prinsip toleransi. Bagian dari prinsip toleransi beragama tersebut dapat dilakukan dengan menjauhkan sikap tindakan memaksakan keyakinan seseorang atau kelompok atas individu atau kelompok lainnya.

Tinjauan Teologis Etis Kristen tenteng Kerukunan antar umat Beragama di Indonesia
Kerukunan antar umat beragama menurut Alkitab
Alkitab mengkehendaki agar orang Kristen memiliki sikap etis yang membuahkan kerukunan antar umat beragama. Norma dan sikap etis yang seperti ini dapat dipelajari dari beberapa hal, yaitu:
Peranan Allah sebagai Penguasa yang Universal
Melalui Kejadian 1-3, terlihat bahwa Allah adalah Pencipta dan Penguasa atas seluruh alam semesta. Allah tidak hanya pencipta tetapi memelihara alam semesta. Penciptaan yang Dia lakukan bukan hanya atas individu Adam dan Hawa, tetapi atas laki-laki dan perempuan yang sebenarnya merupakan representasi dari seluruh keluarga, bangsa, penganut agama-agama, bahkan seluruh alam semesta.
Dalam Kejadian 4-11 tuntutan Allah lebih tegas bagi seluruh manusia untuk menaatiNya. Seluruh manusia lebih suka tidak menaatiNya, tetapi sebaliknya melakukan yang jahat karena memang manusia tidak lagi memiliki kemampuan untuk taat, sehingga seluruh manusia harus menerima hukuman dariNya. Dengan demikian seluruh manusia memerlukan kasih karunia Allah untuk menyelamatkan manusia.
Kebutuhan akan keselamatan yang universal tersebut di atas, melatarbelakangi pemanggilan bapa leluhur, dan pengikatan perjanjian antara mereka dengan Allah (Kejadian 12 -50), yaitu perjanjian Allah dengan Abraham (Kejadian 12-26), dilakukanNya bukan untuk kepentingan mereka semata tetapi agar seluruh manusia menerima berkat Allah.
Ungkapan “menjadi berkat bagi seluruh manusia” dalam perjanjian lama juga berfungsi sebagai suatu nubuat yang digenapi dalam Perjanjian Baru melalui kedatangan Mesias (‘yang diurapi’), yaitu Yesus yang diurapi menjadi Penyelamat bagi seluruh manusia (Kis. 7:2-3, 5; Ibr. 11:8; Gal. 3:9-16). Pekerjaan penyelamatan bagi seluruh manusia (keselamatan yang universal) dapat dipaham dalam terang “injil yang holitistik”, yang tidak hanya bermakna keselamatan “jiwa” yang bersifat batiniah, tetapi mencakup pemenuhan kebutuhan jasmaniah.
Tata tertib Ilahi yang terdapat dalam berbagai agama yang ada
Pengaturan Allah akan bangsa-bangsa atau penganut agama-agama lain juga dapat dipelajari dari sastra hikmat Perjanjian Lama (Kitab Amsal, Ayub dan Pengkhotbah). Dalam kitab-kitab ini tercantum aturan-aturan umum yang didasarkan kepada tata tertib ilahi. Sebagai contoh didalam Kitab Amsal kita temukan aturan alam melalui observasi tingkah laku semut (Ams. 6:6), aturan sosial tentang “membuat persetujuan dengan orang lain” (Ams. 6:1-5), aturan politis tentang “ sikap raja terhadap bawahannya” (Ams.14:35), aturan ekonomi tentang “penggunaan uang dan harta yg tidak pada tempatnya” (Ams. 19:10). Allah menanamkan tata tertib ilahi dalam alam semesta untuk mengatur seluruh manusia dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik. Tata tertib ilahi ini merupakan media pernyataan Allah yang diberikanNya kepada semua manusia tanpa membeda-bedakan suku-bangsa atau agama.
Tata tertib ini tidak hanya ada dalam materi pendidikan atau aturan-aturan sosial-ekonomi-politik, tetapi juga ada dalam semua agama. Semua agama memiliki aturan-aturan umum yang baik dan berguna untuk mengatur manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga ia bias mencapai kesuksesan hidup.
Sikap Tuhan Yesus yang menolak keber-agama-an yang fundamentalis
Beberapa tindakan dan sikap Yesus yang  menolak keberagamaan yang fundamentalis, diantaranya:
Ia menolak penafsiran picik dan eksklusif orang-orang farisi dan para ahli taurat terhadap perintah ke-4 yaitu untuk menguduskan hari Sabat, yang menghasilkan ketaatan yang kaku dan aturan yang menghalangi orang lain untuk melakukan kebaikan pada hari Sabat. Tanpa takut-takut, Yesus menyatak diriNya adalah Tuhan atas hari Sabat, dan melakukan kebaikan pada hari Sabat, yaitu menyembuhkan orang sakit (Yoh. 5:9-10)
Yesus menyembuhkan penyakit anak seorang perempuan Kannan tanpa memintanya pindah ke agama Yahudi (Mat.15:21-28)
Yesus mau bergaul dan berdialog dengan perempuan Samaria, yang memiliki kepercayaan, diremehkan dan dikucilkan orang Yahudi. Yesus berbincang tentang perbedaan dan persamaan kepercayaan orang Yahudi dan Samaria (Yoh. 9:1-42)
Yesus juga mau hidup bersama orang atau golongan yang dikucilkan karena dianggap berdosa. (Mat. 9:9-13: Mrk. 2:13-17).
Berulang-ulang Yesus mengajarkan agar para murid-Nya mengasihi sesama dan berdoa bagi orang yang memusuhi mereka (Mat.5:43-48; 9:9-13: Mrk. 2:13-17)

Sikap etis mahasiswa Kristen terhadap penganut agama lain
Kajian Biblika yg telah dipaparkan diatas amat sesuai dengan situasi masyarakat Indonesia yg sangat majemuk, khususnya diera Globalisasi ini. Karenanya mahasiswa Kristen seharusnya mendukung sikap dan perilaku yang bias mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Contoh simple dan praktisnya antara lain adalah pengendalian diri sehingga mahasiswa Kristen dapat memperlihatkan rasa hormatnya akan kebebasan tiap orang di dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sesuai dengan agamanya, bertenggang rasa, dan tidak berniat untuk memaksakan agamanya kepada orang lain. Sikap dan perilaku ini akan mencegah konflik intern maupun konflik ekstern antar golongan/umat beragama, bahkan diharapkan akan mewujudkan keharmonisan hubungan dalam kehidupan bermasyarakat yang saling mengisi dan menguatkan.
Marthin Luther King mengatakan: “Muhammad bukanlah  Anti Kristus karena ajarannya banyak mengandung kebaikan”.
Dewasa ini gereja memiliki dan melaksanakan program “teologi agama-agama”, dimana yang ditekankan diprogram ini adalah secara jujur belajar memahami agama-agama lain yang berbeda aturan, tujuan dan latar belakangnya dengan agama yang kita anut, bukan mencari-cari kekurangan agama lain ataupun membesar-besarkan agama sendiri, melainkan untuk melihat titik temu agar bisa berdialog. Program seperti ini perlu disosialisasikan kepada anggota jemaat juga kekalangan mahasiswa. Program ini seharusnya mendukung:
Penilaian Ulang (re-thinking) setiap penganut agama mengenai pemikiran tentang agamanya, agama orang lain, hal-hal yang bias menjadi penghalang bagi kerukunan, apakah itu berbentuk prasangka, distorsi, apologetic, dll.
Dialog atau pemikiran bersama oleh para penganut agama yang berbeda dalam rangka tercapainya kerukunan.
Gereja juga sudah memulai program yang berdimensi kemasyarakatan bagi kerukunan antar umat beragama. Program seperti ini harus didukung dan lebih ditingkatkan, sehingga setiap orang Kristen termasuk mahasiswa Kristen dapat hidup dan bekerja sama dengan penganut agama lain. Untuk itu perlu dipikirkan :
Kerja sama sebagai masyarakat madami (civil society) yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah sehingga tidak ada produk legislatif maupun kebijakan eksekutif yang bertentangan dengan keyakinan pokok agama atau agama-agama dan dengan kepentingan masyarakat.
Kerja sama dalam memberikan dukungan sepenuhnya bagi kesuksesan program pemerintah, khususnya untuk meletakkan kerangka landasan spiritual dan etis bagi masyarakat dalam era modernisasi dan globalisasi yang sarat dengan masalah.
Kerja sama dalam kegiatan sosial yang praktis, misalnya dalam bencana alam yang terjadi, pelestarian lingkungan, penyakit, kemiskinan, dll.
















BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Bila kita ingin memecahkan masalah Primordialisme Agama itu, kita perlu melokalisir permasalahannya agar mudah mengobatinya. Dalam suasana huru-hara yang banyak terjadi belakangan ini, semua pihak harus mawas diri untuk tidak melakukan generalisasi seakan akan agama ini salah dan agama ini betul, karena pelaku-pelaku kerusuhan umumnya adalah sekelompok fanatis agama yang jelas disesali oleh pimpinan agama itu sendiri. Yang jelas kasus-kasus yang melibatkan primordialisme agama perlu dihadapi dengan hati-hati untuk tidak meluaskan masalahnya menjadi general, massal, dan berskala nasional.

SARAN
Bagi Mahasiswa
Hendaknya sebagai mahasiswa yang baik, kita jangan terlalu mudah untuk mengambil keputusan suatu masalah yang bersangkutan dengan Agama. Jangan menilai suatu masalah itu dari agamanya, dan jangan juga mengadu dombakan agama yang satu dengan agama yang lain.
Bagi Masyarakat
Hendaknya dalam bermasyarakat yang baik setiap masyarakat jangan mudah terpengaruh akan keadaan yang ada di sekitar kita. Jangan juga membedakan bedakan agama yang satu dengan yang lain agar terciptanya kerukunan umat beragama yang sangat baik
Bagi Pemerintah
Sebaiknya pemerintah tidak mencampurkan urusan politik atau pekerjaan dalam agama, karena itu dapat menyebabkan SARA, dan hendaknya pemerintah bisa mengambil kesimpulan yang baik.









Daftar Pustaka :

Surat dari FKKS-Jatim tanggal 17 Januari 1997 yang dikirimkan melalui nternet ke Pengurus  
PGI/PII/DPI/PGBI.)

Sumber kasus: http://www.tempo.co.id/ang/har/1997/970107_1.htm)

Tonnies. Ferdinand. 1887. Gemeinschaft und Gesselschaft

Baum, Grehory. 1975. Religion and Alienation: A Theoligical Reading of Sociology
https://id.wikipedia.org/wiki/Fanatisme

https://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme

http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2015/07/pengertian-kerukunan-antar-umat-beragama.html
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-kerukunan.html
Herlianto. 1997. Gereja di tengah Gejolak Kota-Kota sesudah Surabaya, Situbondo &
Tasikmalaya, lalu…?

A, Ubaedillah. 2015. Pancasila Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi,
Dan Pencegahan Korupsi (Edisi Pertama)

0 komentar:

Posting Komentar